Learning Leeson’s Lesson (2)

Banyak bukti menegaskan bahwa hancurnya Barings karena ulah Nicholas Leeson, tetapi beberapa faktor internal perusahaan memungkinkan trader nakal tersebut berulah. Faktor apa saja?


Pada 3 Maret 1995, ING membeli Barings seharga GBP1. Transaksi ini mengakhiri kisah bank yang didirikan tahun 1716 dan pernah membantu AS membeli daerah Louisiana dari Perancis dalam abad ke-18. Banyak dokumen menegaskan bahwa transaksi tersebut terjadi setelah bank tersebut bangkrut akibat ulah tidak terkendali dari Nicholas William Leeson, trader derivatif Barings di Singapura.

Leeson mendapat mandat untuk mencari peluang investasi dari perbedaan harga instrument derivatif yang diperdagangkan baik di Singapore Money Exchange (Simex) dan Bursa Osaka. Dengan kata lain, tugas Leeson adalah melakukan transaksi arbitrase. Kenyataannya, dia mengambil posisi yang jauh lebih berisiko dengan membeli dan menjual kontrak yang berbeda di dua bursa. Ketika kenakalan Leeson mulai terkuak pada 27 February 1995, Barings memiliki posisi dengan nilai notional USD27 miliar. Ini di luar transaksi opsi Nikkei senilai USD6,68 miliar. Pada saat settlement, Barings harus menanggung kewajiban sebesar USD1,4 miliar, lebih tinggi dibandingkan dengan modal bank yang hanya USD900 juta.

Dibandingkan dengan kegagalan perusahaan besar karena transaksi derivatif, instrumen yang digunakan Leeson, kontrak berjangka Nikkei 225 dan JGB, adalah jenis paling sederhana. Kedua instrumen sangat terbuka karena tercatat di bursa. Strategi arbitrase adalah bisnis berisiko rendah, dan dengan demikian merupakan bisnis yang memberi untung kecil. Namun bagaimana ia bisa menderita kerugian yang begitu besar? Bagaimana dia mampu mengelabuhi semua orang di sekelilingnya? Bagaimana ia mampu membukukan laba padahal sebetulnya posisinya harus menanggung kerugian? Bagaimana dia mampu menunjukkan pembukuan yang flat (impas) ketika dia mengambil posisi long dalam jumlah besar pada Nikkei dan posisi short pada kontrak berjangka suku bunga Yen?

Berikut adalah beberapa kondisi yang mendukung, atau memungkinkan, terjadinya penggelapan oleh Nick Leeson.

Pertama, sebagaimana kesimpulan Badan yang dibentuk oleh bank sentral UK untuk menyelidiki skandal Barings, manajemen puncak Barings kurang paham soal bisnis proprietary (transaksi untuk kepentingan sendiri). Ini untuk membedakan transaksi bank untuk kepentingan nasabah. Jika auditor dan manajemen puncak Barings memahami bisnis trading, mereka pasti tahu bahwa mustahil bagi Leeson memperoleh laba sebesar yang dia laporkan jika tidak mengambil risiko yang lebih besar pula. Selain itu auditor dan manajemen puncak mestinya mempertanyakan darimana laba tersebut berasal. Artinya, laporan laba besar dari Leeson mestinya mendorong mereka memberikan peringatan, bukannya pujian dan bonus. Kurangnya pengetahuan Barings tentang bisnis trading memang beralasan mengingat kebanyakan manajer senior Barings memiliki latar belakang merchant banking.

Kedua, kesembronoan manajemen senior. Hancurnya Barings juga karena sikap sembrono manajemen senior terhadap bisnis derivatifnya di Singapura. Setiap laporan mengenai pengelolaan risiko derivatif menekankan perlunya manajemen senior memahami risiko bisnis tersebut untuk membantu mengartikulasikan risk appetite bank dan merancang strategi dan mengontrol prosedur operasi. Para manager senior di Barings terbukti lemah dalam masalah-masalah tersebut. Sebagai contoh, mereka merasa senang dengan laporan laba dari cabang Singapura, tetapi tidak memberikan perhatian lebih besar, misalnya dengan memberikan sumber daya yang memadai untuk menjamin adanya manajemen risiko yang bagus bagi cabang yang menyumbang seperlima laba Barings pada tahun 1993 dan hampir 50% laba Barings tahun 1994.

Manajemen senior Barings yang memiliki pengetahuan yang terbatas tentang derivatif juga tidak ingin menyelidiki terlalu dalam bidang ini. Mereka memuji untung besar yang dilaporkan tetapi tidak pernah menganalisa atau mengkaji potensi risiko bisnis ini di rapat Komite Investasi. Bahkan para manager senior tidak mengetahui rincian laba yang dilaporkan Leeson. Hal ini misalnya diakui Chairman Barings waktu itu, Peter Barings, di depan tim penyelidik dari bank sentral UK. Peter menyebut keuntungan yang dilaporkan sebagai pleasantly surprising. Andrew Tuckey, mantan deputy chairman Barings, mengatakan kepada tim yang sama bahwa  manajemen senior Barings berpandangan bahwa transaksi derivatif adalah tambang emas dengan risiko kecil. Tim bank sentral UK menilai Ron Baker (head of Financial Products Group) dan Mary Walz (Global head of Equity Financial Products), dua atasan Leeson tidak paham tentang mekanisme transaksi di lantai SIMEX. Para anggota Asset and Liability Committee (ALCO), yang memantau risiko pasar Barings, menyatakan kepeduliannya soal besaran posisi yang diambil Leeson, tetapi kemudian merasa nyaman dengan pikiran bahwa eksposure Barings atas risiko pasar relatif kecil karena Leeson melakukan hedging atas posisi tersebut. Keyakinan yang salah tempat ini telah mengarahkan manajemen Barings mengabaikan posisi Barings, bahkan ketika ada pertanyaan dari Bank for International Settlements in Basle pada 27 Januari 1995.

Kedua, tidak ada mekanisme checks and balances internal. Manajemen Barings melanggar aturan penting dalam bisnis trading, yakni membiarkan Leeson melakukan settlement atas transaksi yang dilakukannya sendiri. Hal ini terjadi karena Leeseon memegang wewenang di dealing desk dan back office. Secara singkat, back office melakukan pemeriksaan yang diperlukan untuk mencegah transaksi tidak sah dan meminimilisasi potensi penipuan dan penggelapan. Karena Leeson bertanggung jawab atas back office, dia memiliki wewenang untuk memutuskan tentang pembayaran, konfirmasi kontrak keluar atau masuk, rekonsiliasi laporan, posisi transaksi.

Dengan menyalahgunakan posisinya ini Leeson bisa mengirimkan informasi palsu ke London. Termasuk di antaranya adalah informasi tentang akun bernomor 88888, yang dibentuk pada Juli 1992 tidak sengaja untuk menyembunyikan kerugian senilai 20.000 USD dan kemudian digunakan terus menerus sebagai akun error untuk menampung kerugian transaksi. Pada mulanya, akun error dibentuk untuk mengakomodasikan transaksi yang tidak dapat direkonsiliasi segera. Staff bagian kepatuhan (compliance) menyelidiki transaksi, mencatatnya di buku perusahaan dan menganalisis bagaimana dampaknya pada risiko pasar dan laporan laba rugi. Laporan tentang akun error umumnya dikirim ke pejabat senior perusahaan. Namun Leeson bisa mengakali sehingga Barings London tidak menyadari hal ini karena Leeson telah memerintahkan konsultan sistem untuk mengeluarkan akun 88888 dari daftar akun yang harus dikirim ke London setiap hari.

Manajemen menumpuk kesalahan awal dengan memberikan wewenang back office dan dealing desk dengan mengabaikan peringatan bahwa memperpanjang jabatan rangkap ini akan berbahaya. Sebuah laporan dari auditor internal pada Agustus 1994 menyimpulkan bahwa tanggung jawab ganda di front dan back offices adalah konsentrasi kekuasaan yang berlebihan. Laporan tersebut menyatakan bahwa ada risiko umum bahwa si general manager (dalam hal ini Leeson) dapat mendominasi kendali. Tim audit merekomendasikan agar Leeson dibebskan dari empat kewajiban: mengawasi tim back-office, menandatangani cek, menandatangani rekonsiliasi transaksi di SIMEX dan rekonsiliasi bank. Leeson tidak pernah menanggalkan hal tersebut meskipun Simon Jones, manajer operasi regional Asia Tenggara dan chief operating officer Barings Securities Singapore, mengatakan kepada tim audit bahwa  Leeson akan dengan segera menyerakan fungsi-fungsi tersebut.

Karena Leeson mengontrol back office dan karena Barings tidak memiliki unit independen untuk mengecek keakuratan laporan Leesons, maka laporan tentang risiko pasar yang dihasilkan oleh unit manajemen risiko Barings menjadi tidak akurat. Posisi Leeson di transaksi arbitrase tidak menunjukkan adanya risiko pasar karena transaksi yang dilakukan di sebuah posisi memang seharusnya bersifat netral karena dinetralisir oleh transaksi di bursa yang lain.

Ketiga, pengawasan karyawan yang lemah. Meskipun Leeson belum pernah memiliki lisensi untuk melakukan transaksi sebelum penugasannya ke Singapura, namun aktivitasya hanya mendapat sedikit pengawasan dan tidak ada individu khusus yang secara langsung bertanggung jawab memantau strategi transaksi Leeson. Selain itu, Leeson banyak melakukan transaksi yang sebetulnya I luar wewenangnya, seperti pembelian dan penjualan opsi. Namun dia dianggap orang-orang di London sebagai anak ajaib (the wonder boy) dan turbo-arbitrageur yang tanpa mitra menyumbang setengah laba Barings Singapore tahun 1993 dan setengah laba Barings pada 1994.

Keempat, kurangnya jalur pelaporan yang tegas. Transaksi ilegal Leeson mungkin terfasilitasi oleh kekisruhan yang disebabkan adanya dua garis pelaporan: satu ke London untuk transaksi proprietary, dan ke Tokyo untuk transaksi yang dilakukan atas nama nasabah.

Kelima, prosedur kontrol Barings sangat jelek. Ini terlihat ketika menutup kerugian dari posisi yang dibuat secara ilegal oleh Leeson. Kantor pusat tidak mewajibkan Leeson membedakan antara variasi margin yang diperlukan untuk menutup posisi sendiri dan transaksi atas nama nasabah. Barings juga tidak memiliki sistem untuk mengkonsolidasikan dana yang diminta Leeson dengan posisi yang dia laporkan. Mestinya Kantor Pusat London sudah menggunakan program penetapan margin yang disebut Analisisi Risiko Portofolio Standar (Standard Portfolio Analysis of Risk/SPAN) untuk menghitung  margin. Kalau program ini diterapkan, Kantor London pasti menyadari bahwa jumlah uang yang Leeson minta jauh lebih besar daripada aturan margin yang ada di Simex. Sebaliknya London begitu saja, secara otomatis, mengirim uang uang diminta Leeson. Fakta bahwa tidak ada yang meminta Leeson memberikan justifikasi atas uang yang dimintanya sangat mencengangkan mengingat besarnya dana. Pada akhir Desember  1994, total dana untuk menutup posisi Leeson adalah USD354 juta. Dalam dua bulan pertama 1995 angkanya meningkat menjadi USD835 juta dan kemudian USD1,2 miliar.

Keenam, tidak ada batasan transaksi. Barings tidak menetapkan batasan untuk posisi transaksi proprietary Leeson karena merasa tidak menanggung risiko pasar untuk transaksi arbitrase. Tetapi hancurnya Barings telah menunjukkan bahwa menetapkan batas posisi gross di setiap bursa sama sekali bukan gagasan buruk. Memang transaksi arbitrase hanya terpapari risiko pasar yang sangat kecil, tetapi transaksi tersebut mengandung risiko dasar dan risiko settlement. Risiko dasar terjadi muncul jika harga di dua pasar tidak selalu bergerak bersamaan atau dengan laju yang sama, sedangkan risiko settlement terjadi karena pasar yang berbeda memiliki sistem settlement berbeda, sehingga hal ini bisa menciptakan risiko liquiditi dan pendanaan.

Ada aspek penting pada masalah ini: sebuah institusi harus memiliki modal yang cukup untuk menahan dampak negatif dari pergerakan pasar dari posisi transaksinya dan cukup uang untuk menjaga posisi ini tetap efektif. Manajemen Barings mengira posisi Leeson bersifat netral terhadap pasar dengan demikian merasa senang-senang saja untuk memenuhi persyaratan margin sampai kontrak jatuh tempo. Namun, margin call dari SIMEX dan bursa Osaka ternyata terlalu besar untuk ditanggung, seperti dikemukakan di depan lebih besar daripada modal Barings.

Sebenarnya risiko funding yang melukai secara serius Barings, tetapi tembakan juga berasal dari penemuan bahwa banyak posisi dibiarkan tidak di-hedging. Risiko funding ini pula yang menenggelamkan Metallgesellschaft, sebuah perusahaan manufakturing Jerman pada tahun 1993. Kisah mengenai Barings dan Metallgesellschaft menunjukkan perlunya sebuah institusi memberi perhatian lebih besar pada kebutuhan pendanaan sementara untuk posisi yang sudah dihedged, maupun yang hanya setengahnya dihedged. Kesamaannya hanya di sini. Manajer senior Baring terus mendanai aktivitas Leeson karena mereka mengira bahwa mereka membayar margin untuk posisi yang sudah dihedged, padahal mereka sebenarnya merugi pada transaksi langsung. Metallgesellschaft, di sisi lain, menolak memberikan pembiayaan sementara karena mereka mengira menderita rugi di kontrak yang sebenarnya di-hedged. Kedua insiden ini menggambarkan perlunya manajer senior lebih pagam tentang posisi hedging.

Ternyata, Barings terpapari risiko pasar secara signifikan dari posisi yang tidak dihedged sehingga meskipun Barings bisa memperoleh cukup banyak uang untuk menutup biaya margin, Barings tidak akan mampu menanggung kerugian substansial yang akan diderita saat posisi tersebut jatuh tempo. Agen yang ditunjuk oleh administrator Barings, setelah Barings dinyatakan bangkrut, menutup semua transaksi dengan kerugian total USD1,4 miliar. Maka ketidakmampuan Barings memenuhi kewajiban margin pada Februari 2005 hanya memperkuat kehancurannya. Nasib Barings sudah diukir pada akhir Januari ketika Leeson secara ilegal melakukan 30.000 kontrak berjangka indeks Nikkei.

Ketujuh, terpapari risiko kredit. Implikasi risiko kredit ditunjukkan dari pencairan dana tambahan ke nasabah, yang digunakan untuk memenuhi margin call. Namun departemen risiko kredit tidak mempertanyakan mengapa Barings meminjamkan lebih dari USD500 juta ke nasabahnya untuk bertransaksi di SIMEX, dan hanya menghasilkan return 10%. Juga tidak jelas siapa nasabah yang dimaksudkan oleh Leeson untuk dibiayai, namun kerugian finansial Barings akan sangat signifikan jika nasabah-nasabah ini mengalami wanprestasi (defaulted). Komite Kredit Barings di bawah pimpinan George Maclean bersikeras bahwa menjadi kebijakan Barings untuk membiayai transaksi margin oleh nasabah sampai bisa ditagih. Tetapi tidak ada batasan jumlah dana tambahan per nasabah. Nasabah yang meminjam dana dengan cara ini jelas tidak menjalani proses persetujuan kredit. Komite Kredit tidak pernah secara formal mempertimbangkan aspek kredit dari tambahan dana untuk posisi margin nasabah meskipun mereka melihat pesatnya pertumbuhan nilai pinjaman seperti terlihat di neraca. Pendek kata, kontrol risiko kredit di Barings amburadul (shambolic).

Bangkrutnya bank tertua UK adala contoh ekstrim dari risiko operasi, yakni risiko bahwa kelemahan dalam sistem informasi atau kontrol internal dapat berakibat pada kerugian yang tidak diharapkan. Ketika kasus seperti itu terus berulang, maka jelas bahwa para manager senior terus mengabaikan aturan dan rekomendasi untuk bersikap prudent dalam mengambil risiko.

1 Response to “Learning Leeson’s Lesson (2)”



  1. 1 More suggestions Trackback on May 9, 2014 at 7:56 pm

Leave a comment




Situs Ini Telah Dikunjungi

  • 123,638 Tamu

Rubrik

Artikel Paling Sering Dibaca

Tulis alamat email Anda untuk menerima pemberitahuan setiap ada unggahan baru.

Join 27 other subscribers