Negeri Neoliberal

Satu hari sebelum penandatanganan penjualan 51% saham PT BCA kepada Farallon terjadi sidang kabinet terbatas tidak resmi selama tiga jam pada pertengahan Maret 2002. Sebagaimana dikemukakan Kwik Kian Gie dalam buku kecilnya, INDONESIA MENGGUGAT JILID-II, terjadi perdebatan sangat sengit waktu itu. Sebelum tuntas, pada jam 18.00 Menko Dorodjatun menghentikan rapat, mengajak Meneg BUMN Laksamana Sukardi melapor kepada Presiden Megawati bahwa penandatanganan penjualan keesokan harinya dapat dilakukan. Dalam rapat tersebut, sekitar pertengahan 2002, hanya seorang menteri dan seorang pejabat negara setingkat menteri yang menentang sangat keras karena transaksi itu akan sangat merugikan keuangan negara. Semua peserta rapat, termasuk Menteri Keuangan Boediono, yang notabene paling bertanggung jawab atas penciptaan beban keuangan negara, menyetujui.
Penjualan saham BCA, dan bank rekapitulasi lain, merupakan rangkaian dari kebijakan pemerintah dalam mengatasi krisis keuangan yang melanda Tanah Air pada 1997 dan memuncak pada 1998 dan mengakibatkan krisis politik yang menumbangkan rezim Suharto. Kebijakan tersebut, selain penutupan 16 bank dan privatisasi dan pengurangan subsidi, merupakan resep yang diberikan oleh IMF sebagai imbalan atas kesediaannya menyediakan dana talangan bagi Indonesia.
Secara internasional resep ekonomi IMF, yang dibuat bersma-sama dengan dua lembaga yang berbasis di Washing lain, yakni Bank Dunia dan Departemen Keuangan AS, diakui menggunakan pendekatan neoliberal. Rangkaian ini juga dikenal sebagai Washington Consensus, nama yang diberikan oleh John Williamson, ekonom Institute for International Economics, sebuah lembaga riset ekonomi internasional yang berbasis di Washington, DC, AS.
Keputusan Boediono menyetujui penjualan BCA dan program privatisasi kemudian menjadi salah satu alasan lawan politiknya untuk menuduhnya antek neolib. Jelas alasan ini salah nalar karena berbagai alasan. Pertama, selain Boediono, banyak menteri lain yang menyetujui rencana penjualan BCA, termasuk Menko Dorodjatun Kuncorodjakti, Meneg BUMN dan Susilo Bambang Yudhoyono selaku Menkopolkam ketika. Kedua, Boediono secara struktural adalah anggota kabinet yang menjadi pembantu presiden. Presiden waktu itu, Megawati, ternyata juga menyetujui rencana penjualan tersebut. Ketiga, banyak pelaksanaan kebijakan yang digariskan IMF, seperti privatisasi, mendapat persetujuan legislatif. Lembaga legislative bahkan juga mengesahkan UU yang memfasilitasi privatisasi seperti UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN, UU No. 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas).
Dengan demikian, kalau yang menjadi alasan untuk menuduh Boediono adalah persetujuannya pada penjualan BCA dan privatisasi, maka amanlah untuk menyimpulkan bahwa bukan hanya Boediono yang menjadi antek neolib, tetapi hampir semua pemimpin di lembaga eksekutif dan legislative menjadi antek neolib. Karena resep IMF tersebut telah dilaksanakan, maka dapat disimpulkan pula bahwa bangsa Indonesia selama ini adalah penganut neoliberalisme, terlepas dari sanggahan presiden SBY bahwa bangsa Indonesia menganut neoliberalisme.
Karena cengkeraman neoliberal yang meluas ini, upaya Kwik Kian Gie selama ini menentang neolib tidak berhasil. Keputusan pemerintah yang dirancang di kabinet dibuat secara kesepakatan. Keberatan satu menteri tidak menghambat keputusan bersama. Hal ini bisa berarti bahwa kalaupun Boediono menolak resep IMF, sangat boleh jadi resep IMF tersebut tetap akan dijalankan.
Presiden SBY dalam berbagai kesempatan, melalui televisi dan media lain, menyatakan bahwa Indonesia tidak menganut liberalisme. Akademisi, yang bertindak seperti layaknya politisi, juga menyatakan hal ini. Alasan yang mereka kemukakan utamanya berupa kebijakan pemerintah untuk memberikan subsidi dan menyediakan anggaran untuk program social. Tetapi jelas, pengeluaran untuk kedua kebijakan tersebut hanyalah sebutir kacang kalau dibandingkan dengan biaya untuk menanggung beban karena menjalankan kebijakan yang sifatnya neoliberalistik. Bandingkan anggaran untuk kedua kebijakan tersebut dengan belanja untuk membayar utang.
Secara khusus banyak ekonom dan lembaga kemasyarakatan berusaha menunjukkan bahwa Boediono bukanlah sosok neolib. Salah satunya adalah Freedom Institute, yang menerbitkan kumpulan tulisan Boediono dalam sebuah buku bertajuk Ekonomi Indonesia Mau ke Mana? yang diluncurkan 15 Juni 2009. Secara umum buku ini ingin menunjukkan bahwa “otak” Boediono bukanlah “otak” neoliberal. Tapi toh orang, karena alasan apapun, bisa bertindak tidak sejalan dengan pikirannya.
Terlepas dari pro dan kontra apakah Indonesia penganut neoliberalisme atau bukan, dan apakah Boediono antek neolib atau bukan, ada sisi positif dari munculnya isu neoliberalisme: semua tampaknya sepakat bahwa neoliberalisme tidak bagus bagi bangsa Indonesia. Bahkan seperti ditulis David Harvey dalam bukunya A Brief History of Neoliberalism (Oxford, 2005), neoliberalisme hanya menguntungkan segelintir elit saja dan merugikan mayoritas penduduk. Neoliberalisme, tulis Harvey, tidak menciptakan kemakmuran tetapi hanya mendistribusikan kemakmuran yang ada melalui capital accumulation by dispossession. Maksudnya, neoliberalisme menciptakan banyak orang kaya baru yang dibangun di atas penderitaan mayoritas penduduk. Di tanah air kupon obligasi SUN menjadi contoh. Bunga ini menambah kekayaan pemodal di pasar modal, tetapi untuk tetap membayar bunga tersebut pemerintah telah mengurangi subsidi dan mengabaikan kebutuhan yang lain seperti anggaran untuk pendidikan dan pertahanan.

2 Responses to “Negeri Neoliberal”


  1. 1 Eddy January 27, 2011 at 7:32 am

    hmm baru tahu saya, thx infonya … btw tidak ada link untuk facebook ya, saya pengen tampilkan di status …

  2. 2 jec January 27, 2011 at 7:38 am

    sama-sama pak. terima kasih atas usulnya. that’s a damn good idea


Leave a reply to jec Cancel reply




Situs Ini Telah Dikunjungi

  • 123,638 Tamu

Rubrik

Artikel Paling Sering Dibaca

Tulis alamat email Anda untuk menerima pemberitahuan setiap ada unggahan baru.

Join 27 other subscribers