The Return of Gold

Banyak orang, khususnya wanita, membeli sedikit emas untuk melindungi uangnya sambil berhias. Dengan sedikit uang lebih, orang membeli logam mulia dalam bentuk perhiasan apakah kalung, gelang, cincin dan anting.
Bagi kelas pemodal, emas pasti bukan ide yang muncul pertama di benak ketika menyusun portofolio investasi. Namun ketika pasar finansial tertekan akibat krisis keuangan global seperti sekarang, dan prospek untuk pulih memerlukan waktu lama, tampak masuk akal memasukkan emas dalam campuran aktiva pemodal.
Banyak pilihan untuk berinvestasi di emas, dari koin emas negara, emas batangan yang aman dan stabil. Di Singapura dan Malaysia, pemodal bisa menabung emas ke bank. Namun pilihan terakhir ini belum tersedia. Tentu saja, masing-masing pilihan memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Investor yang yakin emas akan terus bullish bisa membeli saham perusahaan emas yang lebih spekulatif. Atau, mereka bisa memilih efek lain seperti reksa dana emas dan exchange-traded fund (ETF) emas.
Tujuan berinvestasi di emas bukan mengejar return on capital, tetapi return of capital. Emas selama ini terbukti menjadi sarana hedging efektif terhadap laju inflasi. Bahkan, studi di AS dan Europe membuktikan bahwa investor mampu menurunkan risiko sistematik dan meningkatkan hasil secara keseluruhan jika mereka memasukkan emas dalam portofolio investasi. Oleh karena itu, beberapa perencana keuangan merekomendasikan hendaknya menempatkan 5% dari kekayaannya di emas dalam kondisi normal. Namun dalam kondisi pasar keuangan tertekan seperti saat ini, porsi emas bisa dinaikkan menjadi 20%.
Sebagai sarana investasi, emas kembali menyinarkan daya tariknya seperti terlihat dari tren harga emas di pasaran internasional, yang merangkak naik dari USD271,04 per troy ounce pada tahun 2001 menjadi USD695,39 pada akhir 2007 dan USD872,51 pada pertengahan 2008. Lonjakan dalam dua tahun terakhir terjadi, antara lain karena kondisi pasar financial lagi tertekan berat akibat krisis keuangan global. Memang, ketika pasar modal jelek, harga emas bagus. Harga emas mencapai USD800 pada dasawarsa 1980an saat pasar keuangan khawatir soal kenaikan harga minyak dan investor kurang yakin tentang ekonomi AS.
Ke depan minat terhadap emas tampaknya masih tinggi mengingat kondisi pasar finansial dan perekonomian global lagi lesu. Ini ditandai dengan kontraksi ekonomi AS, meskipun krisis keuangan di AS belum sampai ke puncak sebagaimana diperkirakan banyak pakar. Krisis di AS tidak akan selesai dalam setahun dua tahun dan krisis ini diperkirakan berdampak ke seluruh dunia.
Parahnya ekonomi AS, yang membuat prospek ekonomi global buram, menurut J Bradford DeLong, profesor Ilmu Ekonomi pada Universiti California di Berkeley dalam tulisannya di Project Syndicate, adalah akibat ketimpangan global, yang ditandadi dengan makin membengkaknya neraca perdagangan AS dan surplus neraca perdagangan beberapa negara Asia.
Dalam kondisi seperti ini Federal Reserve, seperti dugaan banyak ekonom, akhirnya mengakomodasi inflasi dengan menurunkan Fed Fund Rate hingga tinggal 25 basis poin saja guna melawah depresi ekonomi. Akibatnya, nilai tukar USD akan semakin melemah, yang merupakan daya tarik tersendiri untuk berinvestasi di emas. Karena emas diperdagangkan dengan denominasi USD, maka melemahnya USD akan membuat harga emas meningkat. (China dan Jepang akan menerima risiko langsung dari melemahnya USD karena cadangan devisa kedua negara banyak di surat utang pemerintah AS).
Menurut Ahamed Kameel Mydin Meera — associate professor Fakultas Ilmu Ekonomi dan Manajemen Universitas Islam Malaysia — akar dari ketimpangan global tersebut adalah peristiwa tahun 1971, ketika Presiden Richard Nixon mencabut kaitan antara USD dan emas. Sejak itu, tak ada karensi di dunia didukung emas. Itu awal dari sistem fiat money murni. Uang fiat adalah uang yang tidak didukung dengan sesuatu yang memiliki nilai seperti emas. Uang fiat tidak bisa ditebus dengan emas, tidak seperti selama berlakunya standard emas. Oleh karena itu entiti yang diberi “hak” menciptakan dan mencetak uang menikmati daya beli gratis, yakni manfaat menggunakan uang yang baru dicetak untuk pertama kali. Manfaat ini disebut seigniorage.
Karena uang dibuat tanpa didukung aktiva, maka dalam sistem fiat money semua negara berlomba-lomba mencetak uang sehingga terlalu banyak uang beredar di dunia. Nilai transaksi karensi harian saat ini sekitar USD2 triliun, 150 kali dari total perdagangan internasional harian. Kebanyakan transaksi karensi oleh karena itu bersifat spekulatif. Aksi spekulasi inilah yang memicu krisis keuangan global sekarang, seperti tahun 1997 menyebabkan krisis financial Asia. Kekayaan bangsa Asia banyak yang hilang akibat krisis, yang disertai kegagalan bisnis.
Pemenang Nobel Robert Mundell memandang bank sentral AS, Federal Reserve, sebagai mesin pencetak uang terbesar yang pernah ada, yang memompa keluar miliaran USD yang kemudian dikoleksi oleh negara lain sebagai cadangan devisa. (Robert Mundell, The International Monetary System in the 21st Century: Could Emas Make a Comeback, page 5, http://www. robertmundell.net/gold).
Dengan uang fiat ini AS membiayai defisit perdagangan dari tahun ke tahun. Kreasi nilai yang tidak memiliki dasar apa-apa tidak akan berjalan selamanya. Ketika uang terlalu banyak diciptakan, pada satu titik pelaku ekonomi akan mempertanyakannya. Itulah yang sedang dihadapi AS saat ini. Menurut Richard Duncan, mantan konsultan Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF), krisis USD kini menjadi tidak terelakkan. Penurunan USD juga akan memiliki reperkusi serius pada negara dunia ketiga, yang dianjurkan IMF untuk meningkatkan cadangan USD. Artinya, negara-negara lain, termasuk negara miskin, harus menanggung bebas dari jatuhnya USD.
Dengan posisi USD sebagai karensi global, tulis Ahamad Kameel, maka perdagangan dunia kini merupakan permainan di mana AS mencetak uang dan sisa dunia menghasilkan barang yang dibeli dengan USD. Karena praktis tidak memerlukan apapun untuk mendukung cetakan USD, maka AS mengimpor banyak sekali barang dan jasa sehingga menimbulkan deficit neraca perdagangan. Dengan USD ini pula AS membiayai peperangannya di berbagai negara. Posisi USD sebagai karensi international diperkuat oleh penetapan harga minyak dan emas dalam USD.
Masalahnya, tambah Ahamed Mydin, saat ini AS sedang khawatir akan kehilangan dominasi globalnya. Kini EUR membayangi USD. Di ujung lain China, bangkit untuk memperoleh kembali statusnya sebagai kekuatan ekonomi global yang pernah diraihnya sekitar satu abad sebelum Columbus menemukan AS, yakni ketika mengirim armada laksamana Ceng Ho ke seluruh dunia. Pada waktu itu, kalau mau, China akan menjadi penjajah yang jauh lebih kuat daripada Belanda, Spanyol, Portugis, Perancis dan Britain.
As harus melakukan sesuatu. Dan menurut Ahamed Kameel, sesuatu itu adalah dengan menguasai sumber daya minyak, komoditi sangat strategis saat ini. Pada zaman dahulu, untuk menguasai sumber daya sebuah negara bisa menyatakan perang dan kalau menang akan menguasai secara fisik. Kini AS menempuh dengan cara lain, menguasai sumber minyak di Timur Tengah dan menyingkirkan lawan dengan tuduhan teror. “Desain perang AS melawan terror dapat dipandang sebagai upaya mempertahankan status USD yang secara de facto menjadi karensi international karensi,” tulis Mydin Meera.
Terlepas dari upaya AS mengatasi ekonominya dan “mempertahankan dominasi global”, beberapa pemimpin dan pemikir dunia mencari solusi untuk mengatasi krisis keuangan global. Beberapa ekonom berpendapat agar USD digantikan, atau sedikitnya didampingi euro sebagai karensi international. Namun, dengan tetap mempertahankan sistem fiat money, ada kekhawatiran euro akan menunjukkan dinamika yang sama dengan USD.
Gagasan lain adalah menciptakan satu karensi global atau satu bank sentral dunia. Gagasan yang lain adalah mengakhiri sistem fiat money dan kembali ke standard emas. Dalam system standar emas, jumlah uang beredar suatu negara akan didasarkan pada cadangan emasnya karena mata uang negara itu bisa sewaktu-waktu ditukarkan dengan emas pada harga yang ditetapkan. Bahkan Perdana Menteri Malaysia Tun Mahathir Mohamad pernah megusulkan penggunaan emas dalam perdagangan internasional, peran yang dulu pernah dimainman emas. Bahkan Mahathir Mohamad mendorong penggunaan uang emas untuk system pembayaran dalam negeri.
Sampai saat ini gagasan standard emas masih wacana, namun banyak pemikir dunia termasuk Robert Mundel percaya suatu saat waktunya akan tiba. Dalam sebuah pidato pada Maret 1997, Mundel pernah menyatakan, ”Emas akan menjadi bagian dari system mometer internasioal pada abad ke-21.” Belakangan benyak ekonom lain yang menggemakan gagasan ini.

0 Responses to “The Return of Gold”



  1. Leave a Comment

Leave a comment




Situs Ini Telah Dikunjungi

  • 123,638 Tamu

Rubrik

Artikel Paling Sering Dibaca

Tulis alamat email Anda untuk menerima pemberitahuan setiap ada unggahan baru.

Join 27 other subscribers